Umroh merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang memiliki nilai spiritual tinggi. Sebagaimana ibadah lainnya, umroh memiliki tata cara dan syarat tertentu yang harus dipenuhi agar sah menurut syariat. Rukun-rukun umroh adalah elemen-elemen mendasar yang tidak boleh ditinggalkan dalam pelaksanaannya. Memahami rukun umroh dengan baik menjadi kunci agar ibadah ini dapat diterima oleh Allah Ta’ala.[1]
Ada perbedaan mengenai rukun umroh di masing-masing madzhab. Menurut Hanafiyah rukun umroh hanya satu, yaitu: Thawaf. Adapun rukun umroh menurut Malikiyah dan Hanabilah ada tiga yaitu: Ihram, Thawaf dan Sa’i.[2] Sedangkan Syafiiyah menganggap bahwa rukun umroh ada lima, yaitu: Ihram, Thawaf, Sa’I, Tahalul (mencukur rambut) dan Tertib.[3] . Mencukur rambut menurut mayoritas ulama selain syafiiyah itu masuk kategori wajib dan bukan rukun.
1.Ihram
Ihram adalah langkah pertama dalam pelaksanaan umroh yang mencakup niat untuk memulai ibadah dan larangan-larangan tertentu selama masa ihram.[2] Ihram dilakukan di tempat-tempat miqat yang telah ditentukan.[4]
Ihram dimulai dengan membersihkan diri, seperti mandi sunnah dan memakai pakaian ihram. Pakaian ihram bagi laki-laki terdiri dari dua helai kain putih tanpa jahitan,[5] sementara wanita boleh mengenakan pakaian biasa asalkan menutup aurat dan tidak berlebihan dalam berhias.[6] Proses ini mencerminkan kesederhanaan dan kesetaraan di hadapan Allah Ta’ala.
Selama ihram, jamaah diwajibkan menghindari larangan-larangan tertentu, seperti menggunakan wewangian, mencukur rambut, memotong kuku, atau melakukan hubungan suami istri.[7] Niat ihram diucapkan dengan bacaan, “Labbaik Allahumma ‘umratan” yang artinya, “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan umroh.” Niat ini harus dihayati dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Setelah niat, jamaah dianjurkan untuk memperbanyak talbiyah, yaitu ucapan, “Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik…” hingga tiba di Masjidil Haram.[8]
2. Thawaf
Thawaf harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadats dan Najis. Jadi ketika thawaf seorang yang melakukan umroh harus mempunyai wudhu. Thawaf dilakukan dengan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. [2]
3.Sa’i
Sa’i adalah berjalan bolak-balik sebanyak tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwah, diawali dari bukut Shafa dan diakhiri di bukit Marwa.[2] Amalan ini mengingatkan perjuangan Siti Hajar dalam mencari air untuk putranya, Nabi Ismail AS .
4.Tahalul
Tahallul dilakukan dengan mencukur rambut atau memendekkannya. Hal ini menjadi simbol penyucian diri dan akhir dari rangkaian ritual umroh. Rasulullah SAW menganjurkan untuk mencukur habis rambut, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”:Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur rambutnya”. Orang-orang berkata: “Dan juga bagi orang-orang yang hanya memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?”. Beliau tetap berkata: “Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur rambutnya”. Orang-orang berkata lagi: “Dan juga bagi orang-orang yang hanya memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?”. Beliau baru bersabda: “Ya, juga bagi orang-orang yang hanya memendekkan rambutnya”. (HR. Bukhory, di dalam Sahih Bukhari nomer hadits 1727)
5.Tertib
Tertib yaitu melaksanakan semua rukun sesuai urutan yang telah ditentukan.[4] Rukun umroh adalah inti dari pelaksanaan ibadah umroh.
Dengan memahami dan melaksanakan rukun-rukun ini dengan benar, seorang muslim dapat menggapai kesempurnaan ibadah dan mendapatkan pahala yang dijanjikan Allah SWT. Oleh karena itu, setiap calon jamaah harus mempelajari dan mempersiapkan diri sebelum melaksanakan ibadah umroh.

Referensi:
[1] Direktorat Jenderal Pelaksanaan Haji dan Umrah Kemenag RI, Tuntunan Manasik Haji dan Umroh. Jakarta, 2023.
[2] W. Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islamy Wa Adilatuhu, 4th ed., vol. 9. Damaskus: Dar El-Fikr, 1984.
[3] Z. Al-Malibary, Fathul Mu’in, 1st ed. Dar Ibn Al-Hazm.
[4] A. A.-S. Musthafa Al-Khin, Musthafa Al-Bugha, ِAl-Fiqh Al-Manhaji ’Ala Madzhab Al-Imam As-Syafi’i. Damaskus: Dar Al-Qalam, 1413.
[5] I. Qudamah, AL-Mughni. Cairo: AL-Maktabah Al-Ashriyah, 1968.
[6] A. M. Muhammad, Ahkam An-Nisa, 1st ed. Cairo: An-Nasyir Ad-Dauly, 1428.
[7] M. bin Ibrahim, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islamy, 1st ed. Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 1430.
[8] S. Sayyid, Fiqhus Sunah, 3rd ed., vol. 2. Beirut: Darul Kitab Al-’Aroby, 1977.