Aktivitas non-minyak yang solid dan reformasi berkelanjutan telah membantu memperkuat ekonomi negara-negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC), meskipun terjadi konflik di wilayah Timur Tengah yang lebih luas, menurut laporan staf Dana Moneter Internasional (IMF).
Wilayah ini berhasil menghadapi turbulensi terkini dan prospek ekonominya tetap menjanjikan, meskipun risiko jangka menengah masih ada dalam konteks fragmentasi, ujar Ken Miyajima, salah satu penulis laporan, dalam diskusi di Arab Gulf States Institute di Washington.
Ekonomi non-hidrokarbon kawasan ini didukung oleh implementasi proyek dan reformasi yang kuat serta upaya diversifikasi yang lebih luas. Di sisi lain, pelonggaran pemangkasan produksi minyak dan ekspansi gas alam diharapkan memperkuat sektor hidrokarbon.
Proyeksi IMF pada Oktober menunjukkan ekonomi GCC diperkirakan tumbuh rata-rata 1,8 persen tahun ini dan meningkat menjadi 4,2 persen pada 2025. Dalam “Regional Economic Outlook,” IMF memprediksi ekonomi UEA tumbuh 5,1 persen pada 2025, sementara Arab Saudi dan Qatar masing-masing 4,6 persen dan 1,9 persen. Bahrain, Kuwait, dan Oman diperkirakan meningkatkan pertumbuhan PDB mereka menjadi 3,2 persen, 3,3 persen, dan 3,1 persen.
Namun, laporan terbaru IMF merevisi perkiraan pertumbuhan PDB riil GCC menjadi sekitar 1,4 persen pada tahun ini dan 3,5 persen pada 2025.
Perang Gaza yang sedang berlangsung memiliki dampak minimal terhadap prospek ekonomi Teluk karena keterbatasan hubungan perdagangan dan finansial dengan wilayah Palestina dan Israel. Hingga kini, perdagangan, investasi, dan pariwisata tidak terpengaruh oleh ketegangan di Laut Merah.
“Dampak konflik regional terhadap negara-negara GCC terbatas, dengan perdagangan, pariwisata, dan aliran investasi sebagian besar tetap tidak terpengaruh,” ujar Miyajima.
Kebijakan fiskal dalam jangka pendek harus tetap bijaksana, kebijakan moneter harus konsisten dengan patokan mata uang, dan kebijakan sektor keuangan harus memantau serta merespons risiko yang muncul, kata para penulis laporan.
Dalam jangka menengah, konsolidasi fiskal dengan fokus pada mobilisasi pendapatan non-hidrokarbon diperlukan untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan serta meningkatkan ruang untuk investasi yang mendukung pertumbuhan.
Digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI) diproyeksikan memainkan peran penting dalam upaya diversifikasi ekonomi kawasan. Studi ini mencatat bahwa sektor AI dapat meningkatkan PDB hingga 35 persen di UEA pada 2030 dan menyumbang setidaknya 12 persen dari PDB Arab Saudi.
Namun, AI juga membawa tantangan besar, dengan hampir 40 persen pekerjaan global terancam oleh teknologi ini. Oleh karena itu, peningkatan keterampilan tenaga kerja, penilaian risiko yang cermat, dan praktik AI yang etis menjadi penting.
Meskipun demikian, potensi positif AI lebih besar daripada risikonya. UEA diprediksi memimpin upaya penelitian dan pengembangan AI di kawasan ini, dengan strategi ekonomi digital nasional dan program-program AI lainnya.
Salah satu contohnya adalah investasi Microsoft dalam G42 di UEA, yang menunjukkan bagaimana AI dapat mendukung aspirasi kawasan ini untuk bergerak menuju era pasca-industri dan pasca-minyak.
Laporan ini juga menekankan pentingnya mengimplementasikan agenda reformasi yang ambisius secara penuh, serta menjaga integrasi perdagangan dan keuangan sebagai prioritas utama.
Keberhasilan negara-negara Teluk dalam mempertahankan stabilitas ekonomi di tengah konflik regional memberikan dampak signifikan bagi ekonomi global, termasuk Indonesia. Kawasan ini adalah pusat utama produksi minyak dan gas dunia, yang memengaruhi harga energi secara global. Stabilitas mereka membantu menjaga pasokan energi bagi negara pengimpor, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada impor minyak dari wilayah ini. Selain itu, investasi negara-negara Teluk di Indonesia terus meningkat, terutama di sektor infrastruktur, energi, dan teknologi. Proyek strategis seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kilang minyak menunjukkan peran penting negara-negara Teluk dalam mendukung pembangunan ekonomi Indonesia.
Bagi Indonesia, hubungan erat dengan negara-negara Teluk menawarkan berbagai manfaat, mulai dari stabilitas pasokan energi hingga peluang kerja sama di bidang teknologi dan diversifikasi ekonomi. Reformasi ekonomi di kawasan Teluk, seperti pengembangan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi digital, dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya di pasar global. Di sisi lain, banyaknya pekerja migran asal Indonesia di negara-negara Teluk turut menyumbang devisa melalui remitansi. Namun, Indonesia juga perlu mewaspadai risiko ketergantungan pada remitansi serta dampak fluktuasi harga minyak dunia terhadap stabilitas ekonomi nasional.