Dalam enam tahun terakhir, Arab Saudi muncul sebagai pemimpin global dalam bidang data dan AI, transformasi yang dipelopori oleh SDAIA sejak didirikan pada tahun 2019 (Sumber: SPA)
Di tengah cita-cita besar Saudi Vision 2030, Arab Saudi terus memperkuat posisinya sebagai pemimpin regional dalam adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI). Namun, di balik kemajuan infrastruktur dan regulasi, tantangan utama justru datang dari internal beberapa perusahaan: ketakutan dan keraguan para pemimpin bisnis terhadap AI.
Tantangan Implementasi AI
Banyak perusahaan di Teluk, termasuk Saudi, terjebak dalam “pilot purgatory”. Yaitu fase di mana prototipe AI berfungsi secara teknis tetapi gagal berkembang karena hambatan budaya organisasi. Menurut laporan McKinsey (Januari 2025), hanya 1% perusahaan yang menganggap diri mereka matang dalam AI, dengan alasan utama berupa ketakutan kepemimpinan dan kurangnya kesiapan risiko.
Yousef Khalili, Chief Transformation Officer di Quant, menegaskan bahwa kegagalan AI bukan karena teknologinya, melainkan karena ketakutan para pemimpin terhadap perubahan.
“AI bukan ancaman bagi manusia, tapi alat untuk memperkuat keputusan manusia,” ujarnya.
Budaya Organisasi: Penghalang Utama Transformasi AI
Khalili menyoroti bahwa banyak eksekutif masih melihat AI sebagai eksperimen, bukan sebagai alat strategis. Dalam hierarki korporat yang kaku, mengakui ketidaktahuan tentang AI bisa terasa mengancam. Akibatnya, proyek AI yang menjanjikan sering kali ditunda atau ditolak.
Lebih jauh, ketakutan akan disrupsi dan pengungkapan ketidakefisienan model bisnis lama membuat banyak pemimpin enggan mendorong transformasi. Padahal, AI justru bisa menjadi katalis untuk inovasi dan efisiensi.
Solusi: Redefinisi Kepemimpinan dan Literasi AI
Untuk mengatasi hambatan ini, Khalili menyarankan tiga pendekatan utama:
- Empati: Memahami kekhawatiran karyawan terhadap AI.
- Inklusivitas: Melibatkan tim dalam proses transformasi, bukan sekadar memberi informasi.
- Edukasi: Meningkatkan literasi AI di semua level organisasi, termasuk dewan direksi.
Transformasi sejati terjadi ketika tim merasa menjadi bagian dari perjalanan AI, bukan hanya penonton. Oleh karena itu, dewan direksi harus berperan aktif sebagai penggerak inovasi, bukan sekadar penjaga kepatuhan.
Arab Saudi: Siap Memimpin Dunia dalam Adopsi AI
Berbeda dengan banyak negara lain, Saudi memiliki keunggulan struktural: komitmen top-down dari pemerintah, investasi besar dalam talenta dan infrastruktur digital, serta dorongan budaya melalui Vision 2030. Ini menciptakan ekosistem yang mendukung adopsi AI secara luas dan berkelanjutan.
Namun, sektor swasta perlu mengejar ketertinggalan dengan mengadopsi pola pikir eksperimental dan berorientasi jangka panjang. ROI dari AI tidak selalu langsung terlihat, tetapi dampaknya terhadap kecepatan pengambilan keputusan, keterlibatan karyawan, dan efisiensi operasional sangat signifikan.
Metodologi Baru: Ukur Kesuksesan AI dengan Indikator Nyata
Khalili menyarankan pendekatan “balanced scorecard” untuk menilai keberhasilan AI, termasuk:
- Tingkat adopsi internal
- Kecepatan pengambilan keputusan
- Peningkatan akurasi
- Waktu yang dihemat
- Keterlibatan tim
Dengan indikator ini, perusahaan dapat melihat nilai AI secara lebih holistik dan strategis.
Baca juga: Revolusi AI di Arab Saudi: Targetkan 1 Juta Warga Saudi Melek AI
Referensi:
- Hassan, R. (2025). Saudi Arabia emerges as global AI leader in 6 years. Diambil dari https://www.arabnews.com/node/2614013/saudi-arabia.
- Hussain, W. (2025). How Gulf companies can succeed if boardrooms overcome fear of AI adoption. Diambil dari https://www.arabnews.com/node/2613365/saudi-arabia.