Kunjungan Presiden Prabowo ke Arab Saudi pada Awal Juli 2025 (Sumber: Saudi Gazette)
Sebagai salah satu negara di dunia dengan komunitas diaspora terbesar di Timur Tengah, Warga Negara Indonesia (WNI) sudah semestinya memperhatikan transformasi besar-besaran yang terjadi di Arab Saudi melalui kebijakan Saudi Vision 2030. Kebijakan ambisius ini tidak hanya sebagai upaya modernisasi internal Saudi. Namun juga menempatkan negeri minyak tersebut sebagai mitra strategis di kawasan Timur Tengah dengan dampak signifikan bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Apa Itu Saudi Vision 2030?
Saudi Vision 2030 adalah cetak biru transformasi yang digagas Putra Mahkota Mohammed bin Salman sejak 2016. Di mana inisiatif ini bertujuan mentransformasi ekonomi Saudi agar tidak lagi bergantung pada minyak bumi. Dan pilar utamanya adalah:
- A Vibrant Society: meningkatkan kualitas hidup masyarakat, pembangunan sosial, kesehatan, dan pendidikan;
- A Thriving Economy: mendorong pertumbuhan ekonomi non-minyak, investasi, dan peluang kerja;
- An Ambitious Nation: memperkuat efektivitas dan transparansi pemerintahan serta mengoptimalkan potensi strategis Saudi di kancah global.

Implikasi bagi Indonesia
Transformasi ini membawa peluang kerja sama yang luas antara Saudi dan Indonesia. Dan salah satu manfaat konkretnya, per September 2023, Kementerian Ketenagakerjaan RI menandatangani MoU dengan perusahaan Arab Saudi, ARCO Human Resources Company. MoU berisi tentang perluasan peluang kerja bagi pekerja migran Indonesia hingga 200.000 lowongan, menjangkau banyak sektor industri dan jabatan. Hal ini mengingat mega proyek seperti NEOM dapat menyerap ribuan tenaga kerja. Dan modernisasi Saudi secara otomatis juga membuka peluang kerjasama teknologi, digitalisasi, serta investasi bilateral. Di mana ini berpotensi menguntungkan diaspora dan pelaku industri asal Indonesia.
Di sektor haji, kebijakan ini berdampak langsung pada WNI sebagai negara pengirim jamaah terbesar. Kapasitas jamaah haji dan umrah ditargetkan naik hingga 30 juta pada 2030 dengan inovasi layanan berbasis teknologi. Dan ini menuntut Pemerintah Indonesia, terutama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), untuk menyesuaikan dan beradaptasi dalam pengelolaan keuangan haji. Selain itu, perlu reformasi regulasi, serta inovasi tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel sesuai tuntutan Saudi terbaru.
Kritik dan Tantangan
Tidak sedikit kritik yang mengemuka. Diversifikasi ekonomi Saudi bisa saja berdampak pada perubahan kultur yang cepat. Dan ini tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai konservatif, termasuk yang akrab di komunitas muslim Indonesia. Reformasi di bidang hiburan dan sosial kerap memicu potensi konflik internal di Saudi. Sehingga dapat mengancam hilangnya kepercayaan dari negara-negara berhaluan tradisional. Selain itu, ketergantungan Indonesia pada remitansi TKI tetap menjadi risiko. Sehingga perlu kehati-hatian agar peluang kerja tidak bergeser menjadi eksploitasi. Untuk itu pemerintah wajib memastikan perlindungan maksimal bagi pekerja migran.
Di sektor haji, modernisasi dan kenaikan biaya dapat menambah beban. Penting bagi pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembentukan regulasi pengelolaan dana haji secara terbuka dan adaptif.
Secara rinci beberapa hal yang perlu menjadi perhatian:
- Pengelolaan Haji dan Umrah. Transformasi digital yang agresif pada sistem haji, sejalan dengan target Saudi Vision 2030 menaikkan jumlah jemaah hingga 5 juta per tahun. Ini menimbulkan kekhawatiran di Indonesia akan berkurangnya kontrol pemerintah terhadap perlindungan jemaah. Salah satunya ialah potensi pembukaan akses haji secara mandiri via aplikasi Saudi. Dan bila ini tidak diawasi dapat mengurangi transparansi dan keamanan data serta meningkatkan risiko jemaah ilegal. DPR RI mengingatkan agar Badan Penyelenggara Haji Indonesia segera beradaptasi, jangan hanya bersikap reaktif atas sistem digital Saudi.
- Efisiensi, Subsidi, dan Risiko Keuangan Haji. Kebijakan baru Saudi yang berdampak pada naiknya biaya layanan dan perubahan sistem haji mengharuskan perombakan skema keuangan haji di Indonesia. Terjadi ketidakseimbangan antara kenaikan biaya dan distribusi manfaat bagi calon jemaah. Sehingga keberlanjutan dana haji perlu dipastikan supaya tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
- Keterbukaan Kerjasama Investasi dan FDI. Walaupun Saudi terbuka untuk kerja sama ekonomi, Foreign Direct Investment (FDI) dari Saudi sebagian besar masih terpusat di Pulau Jawa, belum menjangkau Indonesia secara inklusif dan luas. Diharapkan Saudi memperluas distribusi investasi, terutama ke wilayah-wilayah strategis di luar Jawa.
- Ketimpangan Akses dan Kemanfaatan Proyek Besar. Beberapa pemangku kepentingan menyoroti bahwa sebagian mega proyek di Saudi lebih menguntungkan kelompok elite lokal dan sektor tertentu. Dan belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat luas atau mitra seperti Indonesia, baik di konteks investasi maupun relasi sosial-keagamaan.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Masyarakat Indonesia
- Kuatkan Diplomasi dan Perlindungan TKI. Dengan mendorong pemerintah untuk memperkuat nota kesepahaman, pengawasan, dan perlindungan tenaga kerja Indonesia agar berjalan seiring dengan transformasi lapangan kerja di Saudi.
- Reformasi Regulasi Keuangan Haji. Ini memerlukan percepatan perubahan regulasi dan tata kelola investasi dana haji agar tetap akuntabel, transparan, serta mampu mengantisipasi tantangan biaya dan layanan ala Saudi Vision 2030.
- Edukasi dan Literasi Globalisasi Budaya. Pembauran nilai modernisasi Saudi perlu direspons dengan penguatan edukasi, literasi agama, dan sosial bagi masyarakat Indonesia agar siap secara mental dan budaya.
- Kolaborasi di Sektor Pendidikan, Ekonomi Digital & Halal Tourism. Indonesia perlu memanfaatkan peluang dengan memperkuat kolaborasi di bidang pendidikan, pertukaran pelajar, sertifikasi halal, serta investasi ekonomi digital. Penguatan jejaring SDM dan teknologi akan mendorong ekosistem yang saling menguntungkan dan memperluas dampak Vision 2030 ke dunia Muslim.
- Peningkatan Peluang Bisnis & Akses Pasar. Pemerintah Indonesia dan pelaku industri harus proaktif dalam promosi produk dan jasa nasional ke Arab Saudi. Baik lewat pameran, business matching, maupun integrasi logistik ekspor pertanian dan halal produk. Saudi sebagai pintu gerbang Timur Tengah perlu dimanfaatkan lebih masif dalam rangka Vision 2030.
Baca juga: Menata Ulang Pelayanan Haji: Evaluasi Penyelenggaraan Haji